Minggu, 20 Oktober 2013

Muhasabah Diri Tentang Sebuah Pernikahan (1)

Potongan sms di sore hari antara saya (S) dan teman saya (TS).
TS : Pengenn ceritaaaaaa.........
S : Cerita aja sayong :)
TS : Ntar malem ya sayang ku telpon. Hehehe
S : Okeee :D

Sedikit heran karena walau kita dekat dari SMA, dia jarang sekali curhat lewat telpon. Biasanya kalo ketemu, baru dia akan cerita panjang lebar seperti kereta. 

Malamnya, teman saya bener telpon. Ternyata dia  cerita bahwa mantannya (A)  minta balikan. A bilang kalo dia serius sama TS dan ingin menjadikan TS istrinya. TS ragu, kalau memang A serius, kenapa cuma ngomong dan gak ada hal lain yang dilakukan untuk membuktikan keseriusannya. (Perlu cowo ngerti, bahwa cewe gak butuh omongan, tapi dia butuh sikap yang menjelaskan omongannya dia)

Saya sempat kaget karena tumben TS cerita hal yang serius. Kemudian saya tanya..
S : Kamu udah pengen nikah?
TS : Iya. Emang kamu belum?
S : Belum pengen..
TS : Masa sih??
S : Iya, belum pengen, belum siap juga..

Lalu TS bercerita bahwa ada orang lain (Z) yang mendekati dan mengajak serius. Z serius akan melamar TS. TS pun bingung. Di satu sisi, bagai gayung bersambut, disaat dia ingin serius ternyata ada pria lain yang juga mengajak serius. Di sisi lain, dia takut Z hanya akan menjadi pelariannya saja. Lalu saya sarankan untuk sholat istikharoh saja ntuk menentukan pilihan.

Bagaimana kisah akhir TS? Wallohualam.. Jodoh di tangan Allah :)



Dari cerita tersebut, dapat diambil kesimpulan : 
1. Allah tidak memberi yang kita inginkan, tapi memberi yang kita butuhkan. Mungkin kita mencintai orang lain dan berharap dia jodoh kita. Jika akhirnya orang tersebut atau orang lain yang menjadi jodoh kita nantinya, yang pasti Allah lebih tau mana yang terbaik untuk kita :)
2. Saya mulai berpikir, 23 tahun bukan umur yang muda lagi. Sudah banyak teman yang menikah, bahkan sudah mempunyai anak. Sempat terbersit ("Siapa jodohku?") kemudian ("Kapan aku menikah?"). Akan tetapi sekali lagi saya berpikir, saya belum siap untuk itu. Bekal dunia dan akhirat saya masih sangat sedikit untuk menjadi seorang istri kemudian seorang ibu. Masih banyak yang harus saya perbaiki dari diri saya, masih banyak pula yang ingin saya bahagiakan sebelum janur kuning melengkung di depan rumah saya :)
3. Bagi yang belum bertemu jodoh, ingatlah bahwa jodoh sudah ada yang mengatur. Jodoh hanya Allah yang tau, dan yang pasti akan dipertemukan di waktu dan saat yang tepat. Yang perlu kita lakukan hanya memperbaiki diri agar nantinya bertemu jodoh yang terbaik karena jodoh kita adalah cerminan dari diri kita :)



Selasa, 15 Oktober 2013

Malam Idul adha 1434 H

Allahu Akbar.. 3x
Laa Ilaha Illallohu Allohu Akbar..
Allahu Akbar Walillahilhamd..

 Menikmati malam takbiran di kos di semarang.  Masih memikirkan sayur asem dan ayam ungkeban yang akan di masak esok hari untuk menyambut hari raya idul adha :))

Selasa, 25 Juni 2013

Mengapa Kita Harus Membaca Al-Qur'an? (AntiGalau1)

Lama banget gak ngeblog. Kangen pengen nulis lagi.. Gara-gara sibuk pacaran sama skripsi. Aku selalu mikirin skripsi, tapi skripsi gak pernah mikirin aku. Jahat sekali skripsi itu ya? Hehehe :)

Ngomongin soal skripsi, gak akan ada habisnya. Dari awal, sampai akhir, mungkin sampe tangannya pegel buat ngetik, tuh cerita gak akan ada habisnya. Hehehe :)

Terkadang disaat gak ada lagi yang bisa bantuin kita, baik keluarga, teman, dosen, semua gak ada yang bisa bantuin, kita merasa sendiri, merasa tak semangat lagi. Alias galau :) Sebenernya, ALLAH selalu ada untuk kita. ALLAH selalu datang disaat kita meminta pertolongannya, bahkan ALLAH selalu datang tanpa kita pinta. Tapi apa kita selalu ingat pada-Nya? Kalo diinget lagi, bisa kuliah sampe semester akhir juga pasti karena campur tangan ALLAH  :)

Balik ke galau lagi ya? kalo lagi galau, alangkah baiknya jika kita membaca Al-Qur'an. Karena setelah membaca Al-Qur'an, hati pasti merasa lebih tenang dan nyaman. Mmm... Jadi inget suatu cerita :)


Seorang muslim tua Amerika tinggal di sebuah perkebunan/area di sebelah timur Pegunungan Kentucky bersama cucu laki-lakinya. Setiap pagi Sang kakek bangun pagi dan duduk dekat perapian membaca Al-qur’an. Sang cucu ingin menjadi seperti kakeknya dan memcoba menirunya seperti yang disaksikannya setiap hari.

Suatu hari ia bertanya pada kakeknya : “ Kakek, aku coba membaca Al-Qur’an sepertimu tapi aku tak bisa memahaminya, dan walaupun ada sedikit yang aku pahami segera aku lupa begitu aku selesai membaca dan menutupnya. Jadi apa gunanya membaca Al-quran jika tak memahami artinya ?

Sang kakek dengan tenang sambil meletakkan batu-batu di perapian, memjawab pertanyaan sang cucu : “Cobalah ambil sebuah keranjang batu ini dan bawa ke sungai, dan bawakan aku kembali dengan sekeranjang air.”

Anak itu mengerjakan seperti yang diperintahkan kakeknya, tetapi semua air yang dibawa habis sebelum dia sampai di rumah. Kakeknya tertawa dan berkata, “Kamu harus berusaha lebih cepat lain kali “.

Kakek itu meminta cucunya untuk kembali ke sungai bersama keranjangnya untuk mencoba lagi. Kali ini anak itu berlari lebih cepat, tapi lagi-lagi keranjangnya kosong sebelum sampai di rumah.

Dengan terengah-engah dia mengatakan kepada kakeknya, tidak mungkin membawa sekeranjang air dan dia pergi untuk mencari sebuah ember untuk mengganti keranjangnya.

Kakeknya mengatakan : ”Aku tidak ingin seember air, aku ingin sekeranjang air. Kamu harus mencoba lagi lebih keras. ” dan dia pergi ke luar untuk menyaksikan cucunya mencoba lagi. Pada saat itu, anak itu tahu bahwa hal ini tidak mungkin, tapi dia ingin menunjukkan kepada kakeknya bahwa meskipun dia berlari secepat mungkin, air tetap akan habis sebelum sampai di rumah. Anak itu kembali mengambil / mencelupkan keranjangnya ke sungai dan kemudian berusaha berlari secepat mungkin, tapi ketika sampai di depan kakeknya, keranjang itu kosong lagi. Dengan terengah-engah, ia berkata : ”Kakek, ini tidak ada gunanya. Sia-sia saja”.

Sang kakek menjawab : ”Nak, mengapa kamu berpikir ini tak ada gunanya?. Coba lihat dan perhatikan baik-baik keranjang itu .”

Anak itu memperhatikan keranjangnya dan baru ia menyadari bahwa keranjangnya nampak sangat berbeda. Keranjang itu telah berubah dari sebuah keranjang batu yang kotor, dan sekarang menjadi sebuah keranjang yang bersih, luar dan dalam. ” Cucuku, apa yang terjadi ketika kamu membaca Qur’an ? Boleh jadi kamu tidak mengerti ataupun tak memahami sama sekali, tapi ketika kamu membacanya, tanpa kamu menyadari kamu akan berubah, luar dan dalam.

Nah intinya, dalam keadaan apapun, baik sedang senang, sedih, baik yang belum lancar baca Al-Qur'an atau yang sudah lancar, alangkah lebih baiknya jika kita rajin membaca Al-Qur'an. Karena manfaat membaca Al-Qur'an sangat banyak sekali. Seperti yang sering kita dengar " Bacalah Qur'an walau hanya satu ayat"  :)


Rabu, 16 Januari 2013

Cukuplah Keislamanmu Menjadi Mahar Bagiku

Menyingkap kisah Abu talhah ra suatu masa dahulu...

Kaum wanita Madinah mengatakan : “Belum pernah kami mendengar mahar kawin yang lebih mahal (mulia) daripada mahar Ummu Sulaim. Maharnya ialah masuk Islam."
Zaid bin Sahal an-Najjary alias Abu Thalhah mengetahui bahwa perempuan bernama Rumaisha binti Milhan an-Najjariyah, alias Ummu Sulaim, hidup menjanda sejak suaminya meninggal. Abu Thalhah sangat gembira mengetahui Ummu Sulaim merupakan perempuan baik-baik, cerdas, dan memiliki sifat-sifat perempuan yang sempurna.

Abu Thalhah bertekad hendak melamar Ummu Sulaim segera, sebelum laki-laki lain mendahuluinya. Karena, Abu Thalhah tahu, banyak laki-laki lain yang menginginkan Ummu Sulaim menjadi istrinya. Namun begitu, Abu Thalhah percaya tidak seorang pun laki-laki lain yang akan berkenan di hati Ummu Sulaim selain Abu Thalhah sendiri. Abu Thalhah laki-laki sempurna, menduduki status sosial tinggi, dan kaya raya. Di samping itu, dia terkenal sebagai penunggang kuda yang cekatan di kalangan Bani Najjar, dan pemanah jitu dari Yatsrib yang harus diperhitungkan.

Abu Thalhah pergi ke rumah Ummu Sulaim. Dalam perjalan ia ingat, Ummu Sulaim pernah mendengar dakwah seorang dai yang datang dari Mekah, Mushab bin Umair. Lalu, Ummu Sulaim beriman dengan Muhammad dan menganut agama Islam. Tetapi, setelah berpikir demikian, dia berkata kepada dirinya, “Hal ini tidak menjadi halangan. Bukankah suaminya yang meninggal menganut agama nenek moyangnya? Bahkan, suaminya itu menentang Muhammad dan dakwahnya."
Abu Thalhah tiba di rumah Ummu Sulaim. Dia minta izin untuk masuk, maka diizinkan oleh Ummu Sulaim. Putra Ummu Sulaim, Anas, hadir dalam pertemuan mereka itu. Abu Thalhah menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu hendak melamar Ummu Sulaim menjadi istrinya. Ternyata Ummu Sulaim menolak lamaran Abu Thalhah.
Kata Ummu Sulaim, “Sesungguhnya laki-laki seperti Anda, wahai Abu Thalhah, tidak pantas saya tolak lamarannya. Tetapi aku tidak akan kawin dengan Anda, karena Anda kafir.”
Abu Thalhah mengira Ummu Sulaim hanya sekedar mencari-cari alasan. Mungkin di hati Ummu Sulaim telah berkenan laki-laki lain yang lebih kaya dan lebih mulia daripadanya.
Kata Abu Thalhah, “Demi Allah! Apakah yang menghalangi engkau untuk menerima lamaranku, hai Ummu Sulaim?”
Jawab Ummu Sulaim, “Tidak ada, selain itu.”
Tanya Abu Thalhah, “Apakah yang kuning ataukah yang putih…? Emas atau perak?”
Ummu Sulaim balik bertanya, “Emas atau perak…?”
“Ya, emas atau perak?” jawab Abu Thalhah menegaskan.
Kata Ummu Sulaim, “Kusaksikan kepada Anda, hai Abu Talhah, kusaksikan kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya jika engkau Islam, aku rela Anda menjadi suamiku tanpa emas dan perak, CUKUPLAH KEISLAMANMU MENJADI MAHAR BAGIKU.."


Mendengar ucapan dari Ummu Sulaim tersebut, Abu Thalhah teringat akan patung sembahannya yang terbuat dari kayu bagus dan mahal. Patung itu khusus dibuatnya untuk pribadinya, seperti kebiasaan bangsawan-bangsawan kaumnya, Bani Najjar.
Ummu Sulaim telah bertekad hendak menempa besi itu selagi masih panas (mengislamkan Abu Talhah). Sementara Abu Thalhah terbengong-bengong melihat berhala sesembahannya, Ummu Sulaim melanjutkan bicaranya, “Tidak tahukah Anda, wahai Abu Thalhah, patung yang Anda sembah itu terbuat dari kayu yang tumbuh di bumi?” Tanya Ummu Sulaim.
“Ya, Betul!” jawab Abu Thalhah.

“Apakah Anda tidak malu menyembah sepotong kayu menjadi Tuhan, sementara potongannya yang lain Anda jadikan kayu api untuk memasak? Jika Anda masuk Islam, hai Abu Thalhah, aku rela engkau menjadi suamiku. Aku tidak akan meminta mahar darimu selain itu,” kata Ummu Sulaim.
“Siapakah yang harus mengislamkanku?” Tanya Abu Thalhah.

“Aku bisa,” jawab Ummu Sulaim.
“Bagaimana caranya?” tanya Abu Thalhah.
“Tidak sulit. Ucapkan saja kalimat syahadah! Saksikan tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad Rasulullah. Sesudah itu pulang ke rumahmu, hancurkan berhala sembahanmu, lalu buang!” kata Ummu Sulaim menjelaskan.
Abu Thalhah tampak gembira. Lalu, dia mengucapkan dua kalimat syahadah. Sesudah itu Abu Thalhah menikah dengan Ummu Sulaim. Mendengar kabar Abu Thalhah menikah dengan Ummu Sulaim dengan maharnya Islam, maka kaum muslimin berkata, “Belum pernah kami mendengar mahar yang lebih mahal (mulia) daripada mahar Ummu Sulaim. Maharnya ialah masuk Islam."
Sejak hari itu Abu Thalhah berada di bawah naungan bendera Islam. Segala daya yang ada padanya dikorbankan untuk berkhidmat kepada Islam.
Abu Thalhah dan istrinya, Ummu Sulaim, termasuk kelompok tujuh puluh yang bersumpah setia (baiat) dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Aqabah. Abu Thalhah ditunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi kepala salah satu regu dari dua belas regu yang dibentuk malam itu atas perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengislamkan Yatsrib.

Dia ikut berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam setiap peperangan yang dipimpin beliau. Dalam peperangan itu, tidak urung pula Abu Thalhah mendapatkan cobaan-cobaan yang mulia. Tetapi, cobaan yang paling besar diderita Abu Thalhah ialah ketika berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Uhud. Dengarkanlah kisahnya!
Abu Thalhah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepenuh hati, sehingga perasaan cintanya itu mengalir ke segenap pembuluh darahnya. Dia tidak pernah merasa jemu melihat wajah yang mulia itu, dan tidak pernah merasa bosan mendengar hadis-hadis beliau yang selalu terasa manis baginya. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdua saja dengannya, dia bersimpuh di hadapan beliau sambil berkata, “Inilah diriku, kujadikan tebusan bagi diri Anda dan wajahku pengganti wajah Anda.”

Ketika terjadi Perang Uhud, barisan kaum muslimin terpecah-belah. Mereka lari kocar-kacir dari samping Rasulullah. Oleh karena itu, kaum musyrikin sempat menerobos pertahanan mereka sampai ke dekat beliau. Musuh berhasil menciderai beliau, mematahkan gigi, melukai dahi, dan bibir beliau, sehingga darah mengalir membasahi mukanya. Lalu kaum musyrikin menyiarkan isu Rasulullah telah wafat.
Mendengar teriakan Rasulullah itu, kaum muslimin menjadi kecut, lalu lari porak-poranda memberikan punggung mereka kepada musuh-musuh Allah. Hanya beberapa orang saja tentara muslimin yang tinggal mengawal dan melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara mereka adalah Abu Thalhah yang berdiri paling depan.

Abu Thalhah berada di hadapan Rasulullah bagaikan sebuah bukit berdiri dengan kokohnya melindungi beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di belakangnya, terlindung dari panah dan lembing musuh oleh tubuh Abu Thalhah. Abu Thalhah menarik tali panahnya, kemudian melepaskan tali anak panah tepat mengenai sasaran tanpa pernah gagal. Dia memanah musuh satu demi satu. Tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendongakkan kepala melihat siapa sasaran panah Abu Thalhah.
Abu Thalhah mundur menghampiri beliau, karena khawatir beliau terkena panah musuh. “Demi Allah, janganlah Rasulullah mendongakkan kepala melihat mereka, nanti terkena panah mereka. Biarkan leher dan dadaku sejajar dengan leher dan dada Rasulullah. Jadikan aku menjadi perisai Anda,” ujarnya mantap.

Seorang prajurit muslim tiba-tiba lari ke dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil membawa kantong anak panah. Rasulullah memanggil prajurit itu. Kata beliau, “Berikan anak panahmu kepada Abu Thalhah. Jangan dibawa lari!” Abu Thalhah senantiasa melindungi Rasulullah sehingga tiga batang busur panah patah olehnya, dan sejumlah prajurit musyrikin tewas dipanahnya.

Allah menyelamatkan dan memelihara Nabi-Nya yang selalu berada dibawah pengawasan-Nya sampai pertempuran usai.
Abu Thalhah sangat pemurah dengan nyawanya berperang fisabilillah, namun lebih pemurah lagi mengorbankan hartanya untuk agama Allah. Abu Thalhah mempunyai sebidang kebun kurma dan anggur yang amat luas. Tidak ada kebun di Yatsrib seluas dan sebagus kebun Abu Thalhah. Pohon-pohonnya rimbun, buah-buahnya subur, dan airnya manis.

Pada suatu hari ketika Abu Thalhah shalat di bawah naungan sebatang pohon nan rindang, pikirannya terganggu oleh siulan burung berwarna hijau, berparuh merah, dan kedua kakinya indah berwarna. Burung itu melompat dari dahan ke dahan dengan suka citanya, bersiul-siul dan menari-nari. Abu Thalhah kagum melihat burung itu. Dia membaca tasbih, tetapi pikirannya tidak lepas dari burung itu.

Ketika menyadari bahwa ia sedang shalat, dia lupa sudah berapa rakaat shalatnya. Dua atau tiga rakaatkah dia tak ingat. Selesai shalat dia pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan kepada beliau peristiwa yang baru dialaminya dalam shalatnya. Diceritakannya pula kepada beliau pohon-pohon nan rindang dan burung yang bersiul sambil menari-nari ketika dia sedang shalat.

Kemudian katanya, “Saksikan wahai Rasulullah! Kebun itu aku sedekahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Pergunakanlah sesuai kehendak Allah dan Rasul-Nya.”
Abu Thalhah sering berpuasa dan berperang sepanjang hidupnya. Bahkan, dia meninggal ketika sedang berpuasa dan berperang fisabilillah.

Pada zaman khalifah Utsman bin Affan, kaum muslimin bertekad hendak berperang di lautan. Abu Thalhah bersiap-siap untuk turut dalam peperangan itu bersama-sama dengan tentara muslimin.
Kata anak-anaknya, “Wahai Bapak kami!” Bapak sudah tua. Bapak sudah turut berperang bersama-sama Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar bin Khattab. Kini Bapak harus beristirahat. Biarlah kami berperang untuk Bapak.”

Jawab Abu Thalhah, “Bukankah Allah Azza wa Jalla telah berfirman, yang artinya, ”Berangkatlah kamu dalam keadaan senang dan susah, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu menyadari.” (At-Taubah : 41). Firman Allah itu memerintahkan kita semua, baik tua maupun muda. Allah tidak membatasi usia kita untuk berperang.”
Abu Thalhah menolak permintaan anak-anaknya untuk tinggal di rumah, dan bersikeras untuk ikut berperang.

Ketika Abu Talhah yang sudah lanjut usia itu berada di atas kapal bersama-sama dengan tentara muslimin di tengah lautan, dia jatuh sakit, lalu meninggal di kapal. Kaum muslimin melihat-lihat daratan, mencari tempat memakamkan Abu Thalhah. Tetapi, enam hari setelah wafatnya, barulah mereka bertemu dengan daratan. Selama itu jenazah Abu Thalhah disemayamkan di tengah-tengah mereka di atas kapal tanpa berubah sedikit pun jua. Bahkan, dia layaknya seperti orang yang tidur nyenyak saja.

wallahua'lam bissawab...